Istilah Foto Seni Rupa muncul beberapa tahun terakhir ini dalam wacana fotografer Indonesia, berawal dari mata rantai Kontes Foto Inovasi yang diselenggarakan oleh HISFA Jogjakarta Tahun 2001. Ketika itu diumumkan, persyaratan utama foto yang akan dilombakan adalah foto yang inovasinya terbilang ekstrim. Baik dilakukan oleh pekaryanya pada saat pemotretan, lewat teknik laboratorium maupun di kelola secara imaging digital atau rekayasa komputer. Kontes Foto yang menarik minat seniman - seniman foto tersebut, secara tidak langsung telah membuka “jalan” baru bagi perkembangan fotografi di Indonesia.
Foto Seni Rupa begitu cepat mencuat ke permukaan, setelah Kontes Foto Inovasi Hisfa 2001 di Jogjakarta. Tak dapat dipungkiri bahwa seorang pakar fotografi dan seniman foto yang bernama Agus Leonardus, telah membuka genre baru dalam perkembangan fotografi di Indonesia utamanya dalam jenis Foto Seni Rupa. Saat itu banyak tanggapan dan komentar muncul setelah melihat karya - karya baru yang menghentakkan itu.
Diketahui bahwa, jauh sebelum era digital merebak, maniak fotografi sudah berkarya secara manual guna menemukan bentuk “miring” yang jauh menyimpang dari karya foto salon. Sehingga muncullah aliran karya yang disebut fine art, foto eksperimen dan foto kreatif yang selalu sarat dengan nuansa dan muatan absurditas serta tak pernah selesai dalam pencariannya. Rata – rata pekarya aliran yang satu ini, mengutamakan ego idealisme, serta rasa kepuasan batin sebagai seorang seniman foto yang mengesampingkan dulu untuk mendapatkan profit dari profesionalismenya.
Orang foto yang bernaung di bawah payung organisasi fotografi yang masih sangat fanatik dengan karya yang belum tersentuh dengan perangkat lunak, merasa sedikit “risih” atas fenomena Foto Seni Rupa. Kendati dengan lapang dada mereka harus menerima kenyataan itu, tak menyangka akan secepat itu laju perkembangannya. Selanjutnya diketahui bahwa telah terjadi loncatan tinggi dalam kreativitas karya fotografi di Indonesia. Era digital dianggap sudah memporak - porandakan paradigma dan teknik fotografi lama.
Pemanfaatan teknik digital di dalam mengeskpresikan sebuah karya Foto Seni Rupa, sekarang ini merupakan hal yang dominan. Peran teknologi digital dianggap menjadi sangat penting, namun bukan berarti pekarya atau seniman foto, sekedar mau mencari kemudahan – secara instan - dalam mencipta. Tetapi mau tidak mau, action kemajuan teknologi digital bakal terus mempengaruhi karya fotografi, yang diserapnya dalam berbagai eksperimen yang menuai hasil hingga sangat menakjubkan.
Faktanya, peraih medali salon foto Indonesia - lomba yang foto paling bergengsi di republik ini - beberapa tahun terakhir, justru didominasi dari karya foto hasil pergaulan “intim” dengan teknologi digital, baik dengan kamera maupun pemakaian perangkat lunak program komputer. Tak dapat dipungkiri dan dielakan bahwa, kelak, pasti akan lahir generasi - pekarya fotografi yang kurang menguasai teknik fotografi standar atau baku. Mudah - mudahan saja kecemasan ini tidak terjadi. Tetapi yang pasti terjadi adalah perkembangan teknologi telah membuka ruang, dan kekayaan ruang ekspressi itu dapat digauli dengan pendekatan masing - masing kreator dengan berbagai anutan yang dapat memperkaya atau sekaligus mempermiskin inovasi karya fotografi.
Dalam mengekspresikan karya foto yang memakai “alat bantu” olah digital, alangkah baiknya jika berawal dari selembar foto atau sebuah kutipan (shoot) pada kamera. Akan lebih baik lagi jika karya tersebut dilahirkan dari sebuah konsep seni rupa yang bermula dari benak seorang seniman foto. Ibaratnya membangun sebuah rumah, blue print yang dari pembangunan rumah tersebut menjadi sangat penting untuk mewujudkan hasil akhirnya.
Sebab seorang fotografer, meskipun ia sudah memakai kamera digital yang tercanggih sekalipun setidaknya banyak keterbatasan yang akan dihadapinya. Apalagi jika hanya memakai kamera yang biasa (manual). Keterbatasan yang dihadapi selain masalah peralatan, juga dalam hal pengambilan subyek seperti lokasi, waktu, cuaca, dan segala macam keterbatasan lainnya. Sehingga aura yang ingin didapatkan seperti yang dalam pikiran (konsep dan gagasan) tidak akan tercapai. Untuk itu seorang seniman foto memamfaatkan perangkat lunak yang salah satunya disebut Photoshop dalam berkarya, adalah bagaimana memamfaatkan fasilitas tersebut sebagai penyempurnaan dalam mencapai aura yang diinginkan dalam karyanya.
Demikian pula dengan karya Foto Seni Rupa yang disentuh dengan perangkat lunak, setidaknya wajib mempunyai gagasan sekecil apapun di dalamnya. Hal tersebut, tentu saja tidak terlepas dari penonjolan goresan keindahannya. Hanya saja ada kekuatiran bahwa, jangan sampai lebih indah foto dasarnya ketimbang dari hasil akhir dari karya foto yang justru sudah diolah secara digital imaging. Kecuali jika memang si seniman foto itu, menghendaki ekspresi lain pada karya fotonya, dengan konsep “trial and error” - penyimpangan dan pengrusakan keindahan.
Foto seni rupa adalah lebih mementingkan penyampaian pesan (message) dan bentuk (form) ketimbang syarat - syarat lainnya sebagai sebuah foto yang baik. Kendati pun tak dapat disepelekan soal teknik fotografi yang baku / konvensional maupun sentuhan akhir (hasil cetakan laboratorium) sebuah karya foto. Sebab untuk mendapatkan hasil fotografi yang indah dan sempurna dalam penggarapan imaging digital, haruslah mempunyai bahan dasar sebuah foto yang berkualitas baik dari segi teknik.
Proses kreatifnya, adalah bermula dari sebuah gagasan yang dituangkan pada sebuah hasil jepretan. Sangat sederhana proses kreatif itu, namun sama sekali tidak instan. Prinsip yang paling penting adalah, kejelian visi dan bagaimana menuangkan rasa sensitivitas dalam mengolah foto tersebut. Nah bagaimana dengan kita, dimana mesti berpijak dalam memberi citra pada karya foto itu. Terserah masing-masing pilihan. Selamat Sukses.
http://iccankmakassar.blogspot.com/2010/01/foto-seni-rupa.html
Diketahui bahwa, jauh sebelum era digital merebak, maniak fotografi sudah berkarya secara manual guna menemukan bentuk “miring” yang jauh menyimpang dari karya foto salon. Sehingga muncullah aliran karya yang disebut fine art, foto eksperimen dan foto kreatif yang selalu sarat dengan nuansa dan muatan absurditas serta tak pernah selesai dalam pencariannya. Rata – rata pekarya aliran yang satu ini, mengutamakan ego idealisme, serta rasa kepuasan batin sebagai seorang seniman foto yang mengesampingkan dulu untuk mendapatkan profit dari profesionalismenya.
Orang foto yang bernaung di bawah payung organisasi fotografi yang masih sangat fanatik dengan karya yang belum tersentuh dengan perangkat lunak, merasa sedikit “risih” atas fenomena Foto Seni Rupa. Kendati dengan lapang dada mereka harus menerima kenyataan itu, tak menyangka akan secepat itu laju perkembangannya. Selanjutnya diketahui bahwa telah terjadi loncatan tinggi dalam kreativitas karya fotografi di Indonesia. Era digital dianggap sudah memporak - porandakan paradigma dan teknik fotografi lama.
Pemanfaatan teknik digital di dalam mengeskpresikan sebuah karya Foto Seni Rupa, sekarang ini merupakan hal yang dominan. Peran teknologi digital dianggap menjadi sangat penting, namun bukan berarti pekarya atau seniman foto, sekedar mau mencari kemudahan – secara instan - dalam mencipta. Tetapi mau tidak mau, action kemajuan teknologi digital bakal terus mempengaruhi karya fotografi, yang diserapnya dalam berbagai eksperimen yang menuai hasil hingga sangat menakjubkan.
Faktanya, peraih medali salon foto Indonesia - lomba yang foto paling bergengsi di republik ini - beberapa tahun terakhir, justru didominasi dari karya foto hasil pergaulan “intim” dengan teknologi digital, baik dengan kamera maupun pemakaian perangkat lunak program komputer. Tak dapat dipungkiri dan dielakan bahwa, kelak, pasti akan lahir generasi - pekarya fotografi yang kurang menguasai teknik fotografi standar atau baku. Mudah - mudahan saja kecemasan ini tidak terjadi. Tetapi yang pasti terjadi adalah perkembangan teknologi telah membuka ruang, dan kekayaan ruang ekspressi itu dapat digauli dengan pendekatan masing - masing kreator dengan berbagai anutan yang dapat memperkaya atau sekaligus mempermiskin inovasi karya fotografi.
Dalam mengekspresikan karya foto yang memakai “alat bantu” olah digital, alangkah baiknya jika berawal dari selembar foto atau sebuah kutipan (shoot) pada kamera. Akan lebih baik lagi jika karya tersebut dilahirkan dari sebuah konsep seni rupa yang bermula dari benak seorang seniman foto. Ibaratnya membangun sebuah rumah, blue print yang dari pembangunan rumah tersebut menjadi sangat penting untuk mewujudkan hasil akhirnya.
Sebab seorang fotografer, meskipun ia sudah memakai kamera digital yang tercanggih sekalipun setidaknya banyak keterbatasan yang akan dihadapinya. Apalagi jika hanya memakai kamera yang biasa (manual). Keterbatasan yang dihadapi selain masalah peralatan, juga dalam hal pengambilan subyek seperti lokasi, waktu, cuaca, dan segala macam keterbatasan lainnya. Sehingga aura yang ingin didapatkan seperti yang dalam pikiran (konsep dan gagasan) tidak akan tercapai. Untuk itu seorang seniman foto memamfaatkan perangkat lunak yang salah satunya disebut Photoshop dalam berkarya, adalah bagaimana memamfaatkan fasilitas tersebut sebagai penyempurnaan dalam mencapai aura yang diinginkan dalam karyanya.
Demikian pula dengan karya Foto Seni Rupa yang disentuh dengan perangkat lunak, setidaknya wajib mempunyai gagasan sekecil apapun di dalamnya. Hal tersebut, tentu saja tidak terlepas dari penonjolan goresan keindahannya. Hanya saja ada kekuatiran bahwa, jangan sampai lebih indah foto dasarnya ketimbang dari hasil akhir dari karya foto yang justru sudah diolah secara digital imaging. Kecuali jika memang si seniman foto itu, menghendaki ekspresi lain pada karya fotonya, dengan konsep “trial and error” - penyimpangan dan pengrusakan keindahan.
Foto seni rupa adalah lebih mementingkan penyampaian pesan (message) dan bentuk (form) ketimbang syarat - syarat lainnya sebagai sebuah foto yang baik. Kendati pun tak dapat disepelekan soal teknik fotografi yang baku / konvensional maupun sentuhan akhir (hasil cetakan laboratorium) sebuah karya foto. Sebab untuk mendapatkan hasil fotografi yang indah dan sempurna dalam penggarapan imaging digital, haruslah mempunyai bahan dasar sebuah foto yang berkualitas baik dari segi teknik.
Proses kreatifnya, adalah bermula dari sebuah gagasan yang dituangkan pada sebuah hasil jepretan. Sangat sederhana proses kreatif itu, namun sama sekali tidak instan. Prinsip yang paling penting adalah, kejelian visi dan bagaimana menuangkan rasa sensitivitas dalam mengolah foto tersebut. Nah bagaimana dengan kita, dimana mesti berpijak dalam memberi citra pada karya foto itu. Terserah masing-masing pilihan. Selamat Sukses.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar